Jumat, 19 April 2013

Kebijakan Untuk Memenangkan Globalisasi

A. Pengertian Globalisasi


Globalisasi bersasal dari kata globel, yang merupakan suatu proses suatu tatanan, aturan dan sistem tertentu yang berlaku bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Sementara itu, ada pula yang mengartikan globalisasi merupakan suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas.

Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)

Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.


Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.


B. Proses Globalisasi


Globalisasi yang hakikatnya membawa kita ke ruang lingkup atau tatanan kehidupan yang mengglobal dan dapat diibaratkan seperti udara yang bergerak cepat dan kesegala penjuru arah. Ia bergerak dari satu ruang ke ruang lain dan meluas. Tidak terbatas. Proses Globalisasi berlangsung dimulai dengan ditemukannya alat komunikasi dan transportasi modern seperti telepon, radio, telegrap, televisi, serta mobil di akhir abad 19. Dengan kemajuan teknologi dan informasi tersebut, orang mudah menyampaikan informasi dan berkembangannya dari tempat yang satu ke tenmpat yang lainnya.

Dari paparan di atas, maka jelas apa yang dilakukan oleh suatu Negara dapat dengan mudahnya diakses oleh Negara lain di seluruh dunia. Perkembangan sarana dan prasarana ini ditopang pula dengan adanya pesawat terbang sebagai sarana transportasi, serta satelit sebagai alat komunikasi dan internet untuk mengakses peristiwa atau kejadian yang terjadi di seluruh dunia yang mengakibatkan proses globalisasi begitu cepat. Maka akan terjadi kontak secara langsung antar negara-negara. Kotak langsung tersebut mengakibatkan nilai-nilai sosial budaya dari suatu bangsa akan terbawa dan saling mempengaruhi satu sama lain. Proses ini dapat dinamakan proses globalisasi.

Sejalan dengan penemuan-penemuan bidang komunikasi dan transformasi oleh Negara-negara Eropa dan Amerika sebagai sumber dan arah jalannya globalisasi, seakan-akan semua dikendalikan oleh mereka. Negara-negara itulah yang paling berpengaruh di kancah kehidupan dunia.


Kebijakan dalam memenangkan globalisasi menurut saya :

1. banyak yang harus di rubah dalam sistem memonitor perkembangan keuangan di indonesia 
2. mengkaji ulang secara berkesinambungan dalam mengontrol arus dan dampak dari globalisasi itu sendiri
3.memprioritaskan investasi yang para investornya berasal dari negara sendiri untuk lebih di utamakan 
4.mengikuti kuat / lemahnya mata uang kita terhadap mata uang asing 
5.membuka kemitraan usaha yang dalam usahanya memberi pinjaman terhadap modal swasta yang ingin ikut andil dalam arus globalisasi tapi memiliki sedikit modal 
6.mengawasi jalannya sistem tata politik & hukum agar tidak mudah di buat terombang ambing oleh peraturan - peraturan yang membuat sulit para pemilik usaha , dll sekaligus pekerjanya 
7. memberi banyak pelatihan terhadap sumber daya manusianya itu sendiri untuk menghadapi globalisasi 
8.selalu mengusung / menggunakan & memanfaatkan teknologi yang seerba canggih pada saat ini .


sumber :

HAM & EKSISTENSI


A.  Hak azasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki pribadi secara kodrat sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak azasi itu meliputi antara lain hak hidup, hak kemerdekaan (kebebasan), hak persamaan serta hak memiliki sesuatu.

Hak azasi itu kemudian berkembang menurut tingkat kemajuan kebudayaan sebagai berikut.
Hak azasi pribadi, yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, memeluk agama dan kebebasan bergerak.
Hak azasi ekonomi yaitu hak memiliki sesuatu, membeli, dan menjualnya serta memanfaatkannya.
Hak azasi mendapat perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Hak azasi politik yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih dalam pemilu), hak mendirikan partai politik.
Hak azasi sosial dan kebudayaan, misalnya hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan.
Hak azasi untuk mendapat perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan, misalnya peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan dan peradilan.
Setiap manusia sesuai dengan kodratnya menghargai dan menghormati, serta mengindahkan hak azasi orang lain, karena hak azasi merupakan anugerah Tuhan. Oleh karena itu, hak azasi tidak dapat dipisahkan dari pribadi masing-masing dan negara berkewajiban melindunginya.

HAM di Indonesia
Hubungan Pembukaan, Batang Tubuh UUD 1945 dan UU No. 39/1999 adalah sangat relevan, karena pembukaan memuat pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia secara global (pokok) sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 merupakan penjabaran dari pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam UUD 1945 tentang HAM sedang UU No. 39/1999 merupakan penjabaran lebih rinci tentang pelaksanaan HAM di Indonesia.
Saya percaya kepada Anda tentunya sebagai warga negara yang baik pasti akan melaksanakan/mengamalkan makna yang terkandung dalam pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta UU No. 39/1999 baik dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat ataupun bernegara.
Cara melaksanakan HAM yang baik dan benar adalah:
Perilaku sehari, bermasyarakat dan bernegara harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Mengakui persamaan derajat.
Konsekuen dalam tindakan dan perbuatan.
Tidak saling mengganggu
Menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan

sumber :

B. Eksistensi HAM dalam Sistem Hukum di Indonesia
Membahas mengenai sistem hukum Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di dunia. Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia, diantaranya civil law system, Common Law Sistem dan Religion Law Sistem atau Sistem Hukum Islam. Terlepas dari sistem hukum yang dianut dalam negara Indonesa, hal yang terpenting dalam pengaturan HAM di Indonesia adalah kemauan politik pemerintah. 

Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan menjadi cepat dicapai kalau diawali dari tertib politik dalam setiap negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan kemauan untuk menegakkan HAM dapat menjadi masalah. Ketika hal ini menjadi bagian dari kemauan pemerintah internal, benturan dalam masyarakat bisa saja terjadi, khususnya antara suprastruktur dan infrastruktur. Konflik terjadi sebagai akibat adanya perbedaan titik tekan prioritas. Kalau prioritas ditekankan kepada stabilitas dengan alasan memperkuat lebih dahulu basis ekonomi, pemberian HAM dapat dinomor duakan. Sistem politik sentralistik yang menerapkan sistem ini. Sebaliknya, sistem politik demokrasi dapat memberikan kebebasan dan menjamin Hak Asasi. Ketentraman dan kepuasan batin warga menjadi prioritas utama. Aturan hukum yang diciptakan cukup akomodatif
Untuk mengamati kedudukan HAM dalam sistem hukum di Indonesia diperlukan analisa terhadap unsur dalam sistem hukum itu sendiri. Menurut Lawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui eksistensi HAM dalam sistem hukum Indonesia selain pada tataran konsep juga dalam tataran praktek.

Substansi Hukum (Legal Substance)

Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).
 Idealnya tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan hukum nasional yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi antara warga negara, pemerintah dan dunia internasional secara baik. Tujuan politik hukum yaitu menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik
Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.
Dalam kaitannya dengan HAM, negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat ditelusuri dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang terdiri atas lima sila, ditambah dengan Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang menyatakan: Kemerdekaan ialah hak segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan. Serta dalam alinea kedua yang menyatakan: Kemerdekaan negara menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur.
Pemasukan unsur-unsur HAM dalam peraturan perundang-undangan telah disadari oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang wajib ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran makro, HAM telah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-udangan oleh lembaga politik/DPR dan dioperasionalkan/dilaksanakan oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan pemerintah/peraturan lainnya sebagai pegangan para pejabat.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep HAM yang berlaku secara universal melalui hukum Internasional membebankan kepada Indonesia sebagai salah satu anggota PBB untuk meratifikasi kedalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh adalah Konvenan Internasional Hak-Hak Sipol (International Covenan on Civil and Political Rights) yang dalam makalah ini disingkat ICCPR.
ICCPR dapat diklasifikasikan dalam dua bagian yakni:

 Non Derogable

Non Derogable adalah Hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak yang termasuk jenis ini, yakni: Hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari penahanan karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti: hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan agama). Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius HAM (Gross Violation of Human Rights).

Derogable

Derogable adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk dalam jenis hak ini yakni: hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negara-negara pihak diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam memebuhi hak-hak tersebut. Akan tetapi pengurangan hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak diskriminatif, yaitu demi menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Di Indonesia, selain UUD 1945, keberadaan hak-hak sipil yang sesuai dengan Konvenan Sipil dan politik termuat dalam banyak peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian secara material, peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibedakan atas:
Peraturan perundang-undangan yang khusus mengenai hukum HAM, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Peraturan perundang-undangan lainya yang didalamnya memuat ketentuan yang berkaitan dengan HAM, baik secara eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat).
Masih terdapatnya peraturan perundang-undangan diluar peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai HAM yang bertentangan dengan HAM. Sehingga perlu melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Undang-Undang yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa Undang-Undang yang dihasilkan dalam era reformasi. Hal ini sebagai konsekuensi dari karakter rejim sebelumnya yang memang anti HAM, sehingga dengan sendirinya produk perundang-undangan kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda tersebut sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut peraturan pelaksanaanya.

Struktur Hukum (Legal Structure)

Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan.
 Struktur hukum merupakan institusionalisasi kedalam beradaan hukum. Struktur hukum disini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK. Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Termasuk dalam struktur hukum yakni hirarki peradilan umum di Indonesia dan unsur struktur yang meliputi jumlah dan jenis pengadilan, yurisdiksinya, jumlah hakim agung dan hakim lainnya.
Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.
Perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Pengembangan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM.
Prioritas utama dalam penegakan hukum HAM yakni dengan meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk didalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM.
Permasalah HAM baru masuk secara resmi dalam sistem peradilan kita semenjak bergulirnya reformasi. Sehingga dapat dilihat masih banyak, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Terlebih lagi untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
Kultur Hukum (Legal Culture)
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Dalam konteks HAM, peran serat masyarakat sangatlah penting. Dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan dan pola bangsa Indonesia pada umumnya terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide yang berkaitan dengan HAM. Bukti empiris yaitu adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang, seperti istilah rembug desa, adat pusako jo koto, mufakat, gotong royong, tut wuri handayani, kabukit samo mendaki ka lurah samo menurun, musyawarah, dan lain-lain.
Proses perkembangan masyarakat Indonesia telah mempertemukan asas hukum adat dengan sistem hukum bangsa/budaya asing secara terus menerus, sehingga terjadi interaksi dan saling mengisi, mengakibatkan adanya perpaduan/perubahan/pergeseran. Istitusi hukum akan semakin kuat jika ideologi politik demokrasi menyatu, dalam arti dilaksanakan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab, sehingga rasa keadilan dapat terwujud dalam masyarakat.
Diakuinya eksistensi HAM dalam sistem hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan pergaulan Internasional. Terlepas dari pelaksanaan penegakan hukum HAM oleh aparat negara, secara konsep HAM telah tertuang dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan baik eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat) yang tujuan utamanya memberikan perlindungan hukum terhadap warga negara terhadap tindakan kesewenangan yang dilakukan penguasa maupun pihak mayoritas.

sumber : 
http://cahwaras.wordpress.com/2010/05/19/eksistensi-ham-dalam-sistem-hukum-di-indonesia/

perdukunan dalam globalisasi


Perbincangan perdukunan kembali marak akhir-akhir ini menyangkut rancangan KUHAP dan KUHP yang memasukkan perdukunan, santet, dan zina dalam aturan baru tersebut. Kasus perdukunan dan santet memang tak bisa dilepaskan dari masyarakat kita, karena hampir selalu terjadi kasus melibatkan praktik perdukunan. Mengapa hal ini terus berlangsung? Berikut pembahasannya.
Banyak kasus perdukunan dipicu oleh kemiskinan, di samping arus modernitas yang sedemikian cepat membuat orang-orang lupa diri. Moralitas sudah sedemikian anjlok. Dukun menjadi alat pelarian sekaligus jalan pintas untuk menjadi kaya mendadak. Entah dengan memelihara tuyul, butho ijo, babi ngepet, dan lain sebagainya. Praktik semacam ini tetap termasuk kejahatan sebab merugikan pihak lain sebagai korbannya.
Ingin kaya, hidup enak, dan tanpa bersusah-payah itulah pemicu sebagian masyarakat kita yang terus percaya kepada klenik dan perdukunan. Sepintas hal itu adalah sesuatu yang alamiah sebagai manusia. Akan tetapi bila kita baca secara lebih cermat orang menggapai jalan pintas dengan jalan ke dukun atau paranormal sebenarnyamenunjukkan ketidakberdayaan masyarakat kita dalam menghadapi kerasnya hidup. Ketidaksiapan dan ketidaksanggupan menjadi orang susah dan mentalitas yang lemah menjadikan masyarakat kita begitu ringkih dan mudah terbuai dengan mimpi-mimpimegalomania yang sering ditawarkan para dukun palsu atau para pengganda uang“bohongan”. Akhirnya mereka sampai kepada kepasrahan yang tak bernalar.
Kita mungkin bisa saja menyalahkan pemerintah negeri ini yang selalu saja lupa dengan warganya yang hidup susah. Pemerintah lebih sibuk mengurusi bank-bank yang nyata-nyata sudah bangkrut, lebih suka bergaul dengan IMF, membiarkan para kuroptur lenggang kangkung jalan-jalan ke luar negeri, dan berbagai subsidi yang selalu salah sasaran.
Pembangunan yang tidak menyentuh sampai akarnya hanya menghasilkan kepiluan bagi rakyat kecil. Pembangunan hanya dapat diakses bagi mereka orang-orang berduit dan kaya raya. Bagi rakyat kecil nanti dulu. Mereka terus bergelut dengan pengusiran, penggusuran, dan akses ekomomi dan pekerjaan yang sempit.
Sekarang suap ada dimana-mana, ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau anggota Polri  misalnya kita sudah dimintai upeti puluhan juta rupiah. Lalu dari mana uang sebesar itu dalam benak rakyat kecil. Akhirnya hanya merekalah orang-orang berduit dan kaya yang punya akses kesitu. Akibatnya yang kaya semakin kaya yang miskin harus puas tetap miskin. Kemiskinan strukural semacam inilah penyakit yang terjadi di negeri ini. Lemahnya akses-akses pada sektor-sektor ekonomi dan pasar kerja menjadikan rakyat miskin mencari pelepasan yang keliru seperti menjadi pengedar narkoba, pencuri, penjambret, preman, penipuan, perdukunan, dan terjerumus pada pelacuran.
Menyakitkannya lagi wajah-wajah mereka tak henti-hentinya diekspose habis-habisan oleh media massa elektronik televisi dalam acara-acara kriminal. Wajah yang babak-belur dan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan aparat menjadi tontonan menarik nanekslusif untuk memenuhi dahaga komoditas. Sementara para koruptor kelas kakap negeri ini tetap nyaman dapat bernafas lega, masih bisa tersenyum dan tertawa-tawa. Padahal para pemirsa tahu para koruptorlah yang harus diekspose besar-besaran bukan justru pencuri sepeda yang ketangkap basah dan babak-belur dihakimi massa.
Rasa putus asa dan tak tahu ke mana harus mengadu membuat masyarakat bawah menjadi lahan empuk berbagai penipuan berkedok dukun. Para dukun itu  mengiming-imingi dapat mewujudkan apa saja keinginan yang diminta, tentu dengan mematuhi berbagai persyaratan. Secara nalar persyaratan itu tentu sangat aneh dan tak masuk akal seperti menyiapkan kembang setaman, ayam jago, bersemedi semalam suntuk pada sebuah sungai dan ritual-ritual lain yang membuat nyali kita ciut.
Dibalik euphoria globalisasi akhir-akhir ini dan riak gelombang generasi serba canggih yang hampir menyelimuti seluruh penjuru dunia. Nyatanya alam-alam irasional yang sulit dijangkau dengan akal sehat tetap saja subur dan menjadi tempat-tempat pelarian. Lebih lanjutnya praktek perdukunan saat ini telah bergerak kearah yang “menakutkan”. Bukan saja tempat untuk berkeluh kesah tentang hidup, cara mudah mencari rezeki, perjodohan, santet, dan cara mudah menduduki jabatan. Tapi telah bergerak kearah pemutarbalikkan dimensi ketuhanan (religiusitas).
Keimanan seseorang kepada yang Esa menjadi sia-sia dan seseorang telah mengalami degradasi moral yang demikian parah. Dalam hal ini nalar sudah tidak berarti lagi. Semua jurusan hidup ini semuanya hanya mengarah kepada nafsu rendah manusia, ingin kaya, hidup enak tanpa peduli dari mana harta itu diperoleh.
Merampok, membunuh, mencuri, dan menipu tiap hari kita saksikan di layar kaca televisi kita. Apakah perlu kita percaya kepada Nietzhe yang tidak percaya lagi kepada agama dan mengatakan Tuhan telah mati. Tentu tidak! Dari sinilah para pemimpin dan pemuka agama di negeri ini perlu mengambil peran sebagai oase ditengah-tengah masyarakat yang sedang sakit dan tak berdaya.
Masyarakat saat ini yang cenderung pragmatis dan segala sesuatu bermuara pada kesenangan (pleasure), hidup enak dan kaya. Sayangnya mereka tak mau hiduprekoso (kerja keras), tapi lebih banyak mengeluh dan lari ke praktik perdukunan dan klenik yang tentu saja tak perlu bersusah payah.
Negara punya tanggungjawab secara moral untuk memperbaiki watak bangsa ini yang semakin merosot dari segi moral. Pembukaan lapangan kerja dan pengurangan pengangguran menjadi tanggungjawab pemerintah dalam mensejahterakan warganya.
Singkatnya selama keinginan masyarakat untuk kaya mendadak tanpa berpeluh keringat belum juga mati, maka praktek irasional kaya mendadak akan tetap tumbuh subur di masyarakat.


sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/03/30/marak-ke-dukun-inilah-jawabannya-541619.html