A. Hak azasi manusia adalah hak-hak dasar yang
dimiliki pribadi secara kodrat sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak azasi
itu meliputi antara lain hak hidup, hak kemerdekaan (kebebasan), hak persamaan
serta hak memiliki sesuatu.
Hak azasi itu kemudian berkembang menurut tingkat kemajuan
kebudayaan sebagai berikut.
Hak azasi pribadi, yang meliputi kebebasan menyatakan
pendapat, memeluk agama dan kebebasan bergerak.
Hak azasi ekonomi yaitu hak memiliki sesuatu, membeli, dan
menjualnya serta memanfaatkannya.
Hak azasi mendapat perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan.
Hak azasi politik yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih dalam pemilu), hak mendirikan
partai politik.
Hak azasi sosial dan kebudayaan, misalnya hak untuk memilih
pendidikan, mengembangkan kebudayaan.
Hak azasi untuk mendapat perlakuan tata cara peradilan dan
perlindungan, misalnya peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan dan
peradilan.
Setiap manusia sesuai dengan kodratnya menghargai dan
menghormati, serta mengindahkan hak azasi orang lain, karena hak azasi
merupakan anugerah Tuhan. Oleh karena itu, hak azasi tidak dapat dipisahkan
dari pribadi masing-masing dan negara berkewajiban melindunginya.
HAM di Indonesia
Hubungan Pembukaan, Batang Tubuh UUD 1945 dan UU No. 39/1999
adalah sangat relevan, karena pembukaan memuat pengakuan terhadap hak-hak azasi
manusia secara global (pokok) sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 merupakan
penjabaran dari pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam UUD 1945 tentang HAM
sedang UU No. 39/1999 merupakan penjabaran lebih rinci tentang pelaksanaan HAM
di Indonesia.
Saya percaya kepada Anda tentunya sebagai warga negara yang
baik pasti akan melaksanakan/mengamalkan makna yang terkandung dalam pembukaan
dan Batang Tubuh UUD 1945 serta UU No. 39/1999 baik dalam kehidupan
sehari-hari, bermasyarakat ataupun bernegara.
Cara melaksanakan HAM yang baik dan benar adalah:
Perilaku sehari, bermasyarakat dan bernegara harus sesuai
dengan norma-norma yang berlaku.
Mengakui persamaan derajat.
Konsekuen dalam tindakan dan perbuatan.
Tidak saling mengganggu
Menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan
sumber :
B. Eksistensi HAM dalam Sistem Hukum di Indonesia
Membahas mengenai sistem hukum Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di dunia. Terdapat beberapa sistem
hukum di dunia yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia, diantaranya civil
law system, Common Law Sistem dan Religion Law Sistem atau
Sistem Hukum Islam. Terlepas dari sistem hukum yang dianut dalam negara
Indonesa, hal yang terpenting dalam pengaturan HAM di Indonesia adalah kemauan
politik pemerintah.
Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia
akan menjadi cepat dicapai kalau diawali dari tertib politik dalam setiap
negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan
kemauan untuk menegakkan HAM dapat menjadi masalah. Ketika hal ini menjadi
bagian dari kemauan pemerintah internal, benturan dalam masyarakat bisa saja
terjadi, khususnya antara suprastruktur dan infrastruktur. Konflik terjadi
sebagai akibat adanya perbedaan titik tekan prioritas. Kalau prioritas
ditekankan kepada stabilitas dengan alasan memperkuat lebih dahulu basis
ekonomi, pemberian HAM dapat dinomor duakan. Sistem politik sentralistik yang
menerapkan sistem ini. Sebaliknya, sistem politik demokrasi dapat memberikan
kebebasan dan menjamin Hak Asasi. Ketentraman dan kepuasan batin warga menjadi
prioritas utama. Aturan hukum yang diciptakan cukup akomodatif
Untuk mengamati kedudukan HAM dalam sistem hukum di
Indonesia diperlukan analisa terhadap unsur dalam sistem hukum itu sendiri.
Menurut Lawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam sistem
hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal
Culture. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui eksistensi HAM dalam
sistem hukum Indonesia selain pada tataran konsep juga dalam tataran praktek.
Substansi Hukum (Legal Substance)
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang
yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan,
aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living
law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).
Idealnya tatanan hukum nasional mengarah pada
penciptaan sebuah tatanan hukum nasional yang bisa menjamin penyelenggaraan
negara dan relasi antara warga negara, pemerintah dan dunia internasional
secara baik. Tujuan politik hukum yaitu menciptakan sebuah sistem hukum
nasional yang rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap
perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang
bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik
Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu
produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang
berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu
peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan
dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.
Dalam kaitannya dengan HAM, negara Indonesia merupakan salah
satu negara di dunia yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut
dapat ditelusuri dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang terdiri
atas lima sila, ditambah dengan Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang
menyatakan: Kemerdekaan ialah hak segala bangsa serta penjajahan harus
dihapuskan. Serta dalam alinea kedua yang menyatakan: Kemerdekaan negara
menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur.
Pemasukan unsur-unsur HAM dalam peraturan perundang-undangan
telah disadari oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang wajib
ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran makro, HAM telah digariskan
dalam Pembukaan UUD 1945. Kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan
perundang-udangan oleh lembaga politik/DPR dan dioperasionalkan/dilaksanakan
oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan pemerintah/peraturan lainnya
sebagai pegangan para pejabat.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep HAM yang berlaku
secara universal melalui hukum Internasional membebankan kepada Indonesia
sebagai salah satu anggota PBB untuk meratifikasi kedalam peraturan
perundang-undangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Salah satu contoh adalah Konvenan Internasional Hak-Hak Sipol (International
Covenan on Civil and Political Rights) yang dalam makalah ini disingkat ICCPR.
ICCPR dapat diklasifikasikan dalam dua bagian yakni:
Non Derogable
Non Derogable adalah Hak-hak yang bersifat absolut yang
tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam
keadaan darurat sekalipun. Hak yang termasuk jenis ini, yakni: Hak atas hidup,
hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari penahanan
karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti: hak bebas dari pemidanaan yang
berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan
dan agama). Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan mendapatkan kecaman sebagai
pelanggaran serius HAM (Gross Violation of Human Rights).
Derogable
Derogable adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau
dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk dalam jenis hak ini
yakni: hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat
termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak atas kebebasan
menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan
memberikan informasi dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negara-negara
pihak diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam memebuhi hak-hak tersebut.
Akan tetapi pengurangan hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman
yang dihadapi dan tidak diskriminatif, yaitu demi menjaga keamanan nasional,
ketertiban umum, menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Di Indonesia, selain UUD 1945, keberadaan hak-hak sipil yang
sesuai dengan Konvenan Sipil dan politik termuat dalam banyak peraturan
perundang-undangan. Meskipun demikian secara material, peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibedakan atas:
Peraturan perundang-undangan yang khusus mengenai hukum HAM,
seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Peraturan perundang-undangan lainya yang didalamnya memuat
ketentuan yang berkaitan dengan HAM, baik secara eksplisit (tersurat) maupun
implisit (tersirat).
Masih terdapatnya peraturan perundang-undangan diluar
peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai HAM yang
bertentangan dengan HAM. Sehingga perlu melakukan inventarisasi, mengevaluasi
dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak
sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Undang-Undang yang
tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa Undang-Undang
yang dihasilkan dalam era reformasi. Hal ini sebagai konsekuensi dari karakter
rejim sebelumnya yang memang anti HAM, sehingga dengan sendirinya produk
perundang-undangan kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM.
Dalam konteks ini, maka agenda tersebut sejalan dan dapat disatukan dengan
agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional
tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak
ekonomi, sosial dan budaya berikut peraturan pelaksanaanya.
Struktur Hukum (Legal Structure)
Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap
bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan.
Struktur hukum merupakan institusionalisasi kedalam
beradaan hukum. Struktur hukum disini meliputi lembaga negara penegak hukum
seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak hukum
yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK. Kewenangan lembaga
penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain.
Termasuk dalam struktur hukum yakni hirarki peradilan umum
di Indonesia dan unsur struktur yang meliputi jumlah dan jenis pengadilan,
yurisdiksinya, jumlah hakim agung dan hakim lainnya.
Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945
sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya
peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM
dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif),
menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan
HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM
menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM
patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya
penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat
dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi,
memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan
adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan
penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu
pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan
peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai
di pengadilan.
Perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi
hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional
dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum.
Pengembangan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan
instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan
HAM.
Prioritas utama dalam penegakan hukum HAM yakni dengan
meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur
pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan
dengan HAM. Termasuk didalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan
penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM.
Permasalah HAM baru masuk secara resmi dalam sistem
peradilan kita semenjak bergulirnya reformasi. Sehingga dapat dilihat masih
banyak, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Terlebih
lagi untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik
dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional
capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah
HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
Kultur Hukum (Legal Culture)
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah
sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran,
serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan.
Dalam konteks HAM, peran serat masyarakat sangatlah penting.
Dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan dan pola bangsa
Indonesia pada umumnya terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia
telah memiliki dan mengenal ide yang berkaitan dengan HAM. Bukti empiris yaitu
adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang, seperti istilah rembug
desa, adat pusako jo koto, mufakat, gotong royong, tut wuri handayani, kabukit
samo mendaki ka lurah samo menurun, musyawarah, dan lain-lain.
Proses perkembangan masyarakat Indonesia telah mempertemukan
asas hukum adat dengan sistem hukum bangsa/budaya asing secara terus menerus,
sehingga terjadi interaksi dan saling mengisi, mengakibatkan adanya
perpaduan/perubahan/pergeseran. Istitusi hukum akan semakin kuat jika ideologi
politik demokrasi menyatu, dalam arti dilaksanakan dengan penuh disiplin dan
tanggung jawab, sehingga rasa keadilan dapat terwujud dalam masyarakat.
Diakuinya eksistensi HAM dalam sistem hukum di Indonesia
tidak terlepas dari pengaruh dan pergaulan Internasional. Terlepas dari
pelaksanaan penegakan hukum HAM oleh aparat negara, secara konsep HAM telah
tertuang dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan baik eksplisit
(tersurat) maupun implisit (tersirat) yang tujuan utamanya memberikan
perlindungan hukum terhadap warga negara terhadap tindakan kesewenangan yang
dilakukan penguasa maupun pihak mayoritas.
sumber :
http://cahwaras.wordpress.com/2010/05/19/eksistensi-ham-dalam-sistem-hukum-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar